SETAN CINTA
Siang itu serombongan
siswa kelas 9 bergerombol. Suara mereka riuh rendah. Ada yang berteriak-teriak.
Ada yang kebingungan, sebaliknya ada pula yang tertawa-tawa. Salah seorang
berlari ke kantor sekolah.
“Ada yang kerasukan di
kelas 9A” kata salah seorang siswa kelas 9A.
“Bawa ke sini, tolong
bersama teman-teman papah atau gotong bersama” kata pak Tino kepada mereka.
“Tidak bisa pak, Nadia
merontak dan melawan, kami takut dia mencakar kami” kata mereka lagi.
“Baik, bapak akan ke
sana” pak Tino segera menuju ruang kelas 9 bersama siswa. Di ruang kelas
terdengar suara riuh. Melihat pak Tino dating, anak-anak memberi jalan lewat.
“Nadia, kenapa kamu”
tatap pak Tino tajam ke arah Nadia.
“Siapa kamu, pergi sana”
kata Nadia balas membentak. Wajah pak Tino memerah. Ia menahan marah dibentak
siswinya. Hanya saja ia dapat meneahan diri karena sudah sering menghadapi
siswa yang mengalami kerasukan seperti ini.
Nadia semakin
menjadi-jadi, ia menendang dan memaki-maki sebisanya. Tangannya pun tidak
tinggal diam, sesekali ia mencakar teman di dekatnya. Untunglah semua
teman-temannya waspada dan menangkis serangan Nadia.
Pak Tino bersusaha
maksimal, mulutnya berkomat-kamit membaca doa. Teman-teman Nadia pun mengikuti
pak Tino. Berkumandang doa dan kalimat-kalimat permohonan. Sayangnya Nadia
semakin marah dan menjadi-jadi. Matanya merah dan kekuatannya seperti
bertambah.
“Ayo, semuanya bantu
Bapak mengangkatnya ke kantor” kata Pak Tino kepada teman-teman Nadia. Serentak
sepuluh orang yang dipimpin Michelle, sahabat baik Nadia memegang erat tangan
dan kakinya. Dibantu pak Tino mereka membawanya ke kantor. Sekitar 80 meter
dilalui dengan susah payah sampailah di Unit Kesehatan Siswa.
Nadia dibaringkan. |Beberapa
guru yang mengetahui hal ini datang membantu. Segelas air putih disertai bacaan
doa diminumkan ke mulut Nadia.
“Rrrrr…!” kurang ajar,
siapa yang berani melawan.” Bukannya Nadia kembali normal, justru ia berulah. Air minum
itu disemburkan ke wajah Michelle. Bajunya basah.
Salah seorang guru, Pak
Dodik mengangkat tangan lalu berdoa. Diusapkan ke wajahnya lalu dipercikkan ke
seluruh wajah Nadia. Kembali Nadia berteriak.
“Pergi, pergi, jangan
datang lagi.” katanya sambil tersedu-sedu. Air matanya berlinang. Pak Dodi
tidak putus asa. Ia memercikkan air berulang-ulang. Kembali Nadia berteriak dan
tangisnya mengeras, namun tubuhnya mulai melemah.
“Sekarang, semua boleh
keluar.” Kata Pak Dodik kepada semua teman-teman Nadia. Biarkan Bapak dan Ibu
Guru yang menanganinya. Satu per satu teman Nadia keluar dan kembali ke kelas.
Setelah semuanya pergi
tinggalah pak Tino, ibu Dwi dan pak Dodi. Sejenak ketiganya saling memberi
kode, mereka lalu berbicara perlahan-lahan. Tak lama kemudian.
“Nadia…, sekarang hanya
kita berempat. Bapak dan Ibu Guru di sini adalah orangtua keduamu di sekolah.
Sekarang bangun dan bicaralah baik-baik” kata pak Dodik dengan lemah lembut.
Nadia diam sambil tetap
berbaring. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Butiran air mata sesekali
menetes. Bu Dwi memegang tangannya dan memijat perlahan.
“Ceritakan, nak. Apa
yang terjadi. Kami tidak akan menyampaikan kepada siapa pun, bahkan kepada
orangtuamu.” Kata bu Dwi menambahkan.
Perlahan Nadia membuka
matanya. Ia menoleh ke kanan, lalu duduk.
“Aku kesal pada
Michelle, ia merebut pacar orang.” Kata Nadia perlahan dengan suara sedih.
“Kalau itu pacar orang
kenapa kamu yang sedih dan marah? Semua orang berhak menentukan pilihan.” Kata
Pak Dodi.
“Bukan begitu, Michelle
merebut pacarku.” Nadia menjelaskan. Ternyata orang yang dimaksud adalah
dirinya sendiri. Michelle telah merebut pacar Nadia.
“Ooh, itu masalahnya.
Kemudian mengapa kamu berteriak dan berbuat seperti orang kerasukan? Kasihan
khan, ibu dan Bapak Guru, juga teman-temanmu sampai panik seperti ini.” Kata
pak Tino memendam kecewa. Tadi ia sempat dimaki Nadia.
“Maaf pak Tino, tadi
saya berpura-pura untuk mencari perhatian teman-teman dan melampiaskan
kekesalanku pada Michelle.” Nadia tertunduk menyesali perbuatannya.
“Baiklah, sesuai janji
kami. Rahasia ini untuk kita berempat saja. Sekarang Nadia harus mengubah diri.
Bila kualitas diri kita tinggi dan karakter kita baik, mengapa harus khawatir terhadap
penilaian orang lain. Biarkan kita mendapat apa yang terbaik.” Nasihat bu Dwi.
“Bila pacarmu memang
merupakan jodohmu, ia tidak akan ke mana. Jodoh itu sudah ditentukan sang
Pencipta. Bergaullah dengan baik, tingkatkan kualitas dan raih prestasi.
Pacarmu akan menyesal setelah Nadia mencapainya. Bila ia setia pasti ia akan
berpaling darimu.” Kata pak Tino menambahkan.
"Perasaan kasih dan saling menyayangi adalah karunia Sang Pencipta. Tetapi tidak berarti kita harus hanyut dengan perasaan itu. apalagi kita masih bersekolah di SMP. masih jauh perjalanan menggapai cita-cita." kata pak Tino lagi
Nadia terdiam lama. ia merenungi nasihat gurunya. perlahan tetapi pasti akhirnya ia tersadar dan menyesal.
“Terima kasih pak guru
dan ibu guru, sekali lagi saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi
perbuatan saya dan akan giat belajar agar tercapai cita-cita.” Kata Nadia.
Mereka berempat kini
lega. Misteri terpecahkan. Biarlah itu menjadi rahasia mereka. Yang terpenting
semuanya telah jelas dan permasalahan telah selesai. Nadia kembali ke kelas.
Pak Tino, Pak Dodik dan ibu Dwi tersenyum penuh arti. Mereka kembali ke ruangan
guru melakukan aktivitas seperti semula.
Comments
Post a Comment